Memandang Hujan




Langit tidak pernah sebiru ini sebelum mataku bertemu dengan dirimu, tumbuhan yang mengelilingku di tempat aku berpijak tidak pernah sehijau yang pernah aku lihat. Sosokmu yang penuh dengan kebahagiaan, penuh dengan harapan. Senyum lebar itu selalu kau ungkapkan sebagai rasa pantang menyerah dalam menghadapi ujian yang diberikan Tuhan kepadamu. Untuk sesaat, aku merasa seperti orang bodoh yang tidak seharusnya bertemu denganmu pada malam itu.




Malam itu, bulan dan bintang menyembunyikan diri mereka di balik gumpalan awan hitam.


Terdengar suara deras hujan memecah kesunyian di dalam ruangan.


Mendengar petir menggelegar, di waktu yang sama, aku terbangun dengan terkejut karena baru saja terbangun dari mimpi buruk. Dadaku terasa sangat sakit hingga aku harus memegangnya dan nafasku terdengar sangat berat. Aku dapat mendengar detak jantungku lebih keras dari biasanya. Aku segera mengambil gelas berisi air putih yang telah disediakan oleh perawat di meja yang terdapat di sebelah kiri kasur.


Dengan rasa haus yang menyelimuti tubuhku, aku meminum air putih itu dengan cepat.


Setelah nafasku mulai teratur, aku melihat sekelilingku dan melihat ke luar jendela rumah sakit. Hujan telah mengguyur kota pada malam hari ini seperti menumpahkan kesedihannya kepada dunia.


Saat itu, pikiranku benar-benar kosong. Hatiku hampa, penuh dengan ketidakpastian, penuh dengan rasa sedih. Semua yang aku lihat tidak memiliki arti yang medalam. Ada sangat banyak pertanyaan yang terngiang di dalam pikiranku dan aku takut mereka akan menghantuiku jika aku membaringkan tubuhku lagi.


Karena alasan itu, aku memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar berkeliling rumah sakit.


Malam ini sangat dingin, tapi aku tidak peduli dan langsung meninggalkan kamar tanpa mengambil jaket terlebih dahulu. Aku melewati lorong rumah sakit dan menemui beberapa perawat masih terjaga. Salah satu penjaga menyadari keberadaanku, dan mulai menyapa, “Langit, sudah malam lho. Kamu mau kemana?” Aku hanya tersenyum sebentar, “Jalan-jalan sebentar, mbak.” Jawabku. Perawat itu lalu membalas senyumanku, “Ya sudah, tapi jangan lama-lama, ya. Ini sudah tengah malam.” Aku mengangguk pelan.


Aku mulai berjalan lagi dan menemukan sebuah kursi tunggu yang menghadap ke arah jendela berupa kaca lebar dan mendudukinya.  


Aku melihat jendela itu basah oleh hujan, dan menutup mataku. Aku pun akhirnya mulai memikirkan hal-hal yang menghantuiku. Lalu, aku merasakan gumpalan kecil air di balik kelopak mataku memaksa ingin keluar. Tidak tahan, aku membuka mataku lagi.


Aku sangat benci dengan hujan, karena mereka sering dianggap sebagai momen kesedihan. Aku melihat titik-titik air hujan menempel kepada  kaca yang mencerminkan tubuhku.


Disaat aku mulai merasa diriku hancur, disaat itulah, aku menemukan dia.


Berjalan dengan selimut di atas bahunya, perempuan itu membawa minuman hangat di kedua tangannya. Aku melihatnya berjalan ke arahku sambil tersenyum dan menyodorkan tangannya kanannya ke arahku. “Untukmu.” ujarnya pelan. Aku membisu untuk beberapa waktu, lalu mengambil gelas itu.


Perempuan itu mendudukkan dirinya di kursi yang terpisah dari kursiku.


Hening.


“Kita satu sekolah, jika kau tidak tahu.” Informasi-nya membuatku sedikit kaget dan menoleh kepadanya. “Oh ya?” tanyaku. “Ya, kelasku bersebelahan dengan kelasmu.” Jawabnya tersenyum. Aku mengangguk tanda sudah mengerti. “Namaku Kirana. Namamu… Langit, kan?” tanyanya lagi sambil menyeruput minuman yang ternyata adalah coklat hangat. Seperti terganggu, aku hanya membalasnya dengan lirikan.


“Kau tampak seperti ingin menangis.” Kata Kirana tiba-tiba.


Aku melihat kearahnya, “boys don’t cry.” balasku dan kembali hanyut kedalam pikiranku.


Kirana tertawa pelan, “Tidak, bukan begitu maksudku.. Aku tahu ada masalah di pikiranmu. Aku bisa melihatnya dari caramu memandang hujan.”


Dengan punggungku yang sedang bersandar di kursi, aku menundukkan kepalaku. Aku melihat perban terikat pada kedua tanganku yang sedang memegang segelas coklat hangat, lalu memutuskan untuk membalas perkataannya.  “Tidak ada hubungannya denganmu,” ucapku dengan tersenyum lirih. Aku dapat merasakan Kirana melihatku dalam diam, “Coklat hangat itu.. minumlah,” minta Kirana.


Sesuai dengan permintaan Kirana, aku mulai meminum coklat hangat itu perlahan-lahan.


“Ini enak.” Kataku. Kirana tersenyum lebar, “Ya, kan? Aku membelinya di vending machine yang ada di dekat kamarku.” Melihatnya tersenyum, aku juga ikut tersenyum kecil. Kami berdua berbagi keramaian hujan dengan senyuman.


“Mungkin aku memang tidak dekat denganmu.. Tapi, kau bisa menceritakan masalah yang ada dalam pikiranmu, jika kau mau.” Tawar Kirana sambil melihatku. “Mengapa kau ingin ikut campur dalam hidup orang lain?” tanyaku terkekeh kepadanya. “Ah.. yah.. tidak ada alasan yang jelas juga sih, sebenarnya..” jawabnya pelan. Aku terdiam, berpikir. Jika di dunia ini tidak ada yang mau mendengarkan keluhku, lalu apa salahnya menceritakan kepada seseorang yang benar-benar tidak kukenal?


Lima hari yang lalu, aku berusaha membunuh diriku.” Kataku sambil membuat nyaman mataku dengan pemandangan kota dari jendela dengan lampu berwarna-warni yang bersinar kecil. Aku mulai meminum coklat hangat untuk beberapa teguk.


Kirana tampak agak kaget, lalu menggaruk-garuk kepalanya yang tertutup oleh jilbab. “Hidup itu tidak mudah,” tawanya kecil. “Aku juga pernah mengalami hal seperti itu,” mendengar Kirana, aku langsung menoleh, “Benarkah?” Kirana mengangguk. “Dulu, aku hampir ingin membunuh diriku. Tapi tidak jadi kulakukan, karena Tuhan masih memiliki rencana untukku.”


Aku terdiam. Mencoba mencari kalimat yang dapat kusampaikan untuknya.


“Kamu.. percaya pada Tuhan, kan, Langit?” tanya Kirana.


“Ya, tapi Tuhan yang berbeda denganmu.” Jawabku cepat.


That’s okay. Setidaknya, dengan begitu, kamu masih mempunyai tempat untuk bergantung dan bercerita tentang kesedihanmu.” Ujarnya.


Aku tertawa. “Tempat untuk bergantung? Tempat untuk bercerita?” kataku tertawa remeh. “Jangan bercanda. Di dunia ini, aku bahkan tidak memiliki siapa pun atau apa pun untuk bersandar.”


Kirana menatapku dengan mata lebarnya sambil memegang gelas coklat hangat di kedua tangannya.


Aku menarik nafas panjang. “Orang tuaku.. tampaknya akan bercerai karena telah mengetahui aku melakukan hal seperti ini. Mereka memang dari dulu sering bertengkar hingga aku tak ingin kembali pulang ke rumah. Karenanya, aku mengalihkan pikiranku dan belajar. Di sekolah, aku pun menjadi penyendiri. Tapi, semuanya tetap berlanjut. Bukannya memujiku dengan hasil nilai yang cukup memuaskan, mereka malah mengacuhkanku dan tidak pernah membuatkanku makan malam. Aku selalu sendirian, hingga akhirnya aku berpikir untuk mengakhiri hidupku. Tapi semua gagal ketika Ayah menemukanku di dalam kamar.” Jelasku panjang lebar.


“Oh, dan mereka tidak pernah menjengukku lagi kecuali pada hari pertama.” Tambahku.


Kirana terdiam, seksama mendengarkan ceritaku.


“… itu pasti sakit.” Ucap Kirana ditengah derasnya suara hujan sambil menunjuk tanganku yang diikat dengan perban. Sebelumnya, aku mengira pernyataan itu ditujukan untuk penjelasan yang baru saja kuberikan.


“Tidak seburuk dengan apa yang terjadi dengan hidupku.” Tawaku sepat.


Kirana terdiam lagi dan mulai membuka mulutnya. “…Bersyukur dan bersabar.” Nasihat Kirana. “Bersyukurlah. Karena kamu ditemukan oleh Ayahmu. Itu tandanya, Tuhan masih memiliki rencana lain untukmu. Untukmu. Bersabarlah. Bersabarlah dengan melihat keindahan di dalam setiap cerita sedihmu. Bukan untuk orang lain, tapi untuk kebahagiaanmu sendiri, Langit.”


Aku terpaku.


Kirana benar-benar menasihatiku dengan perasaan tenang hingga rasanya aku ingin menumpahkan kesedihanku.


“Jangan mengejar kebahagiaan, itu hanya akan membuatmu terperosok ke jurang. Lihat kebahagiaan dari hal-hal kecil yang kau dapat. Well, the best of us can find happiness in misery, aku rasa.”


Aku tersenyum lagi dan menyeruput coklat hangat yang sudah menjadi dingin. “Itu lirik lagu Fall Out Boys, kan?” tawaku padanya. Kirana mengangguk tersenyum.


Kalau begitu, artinya.. aku tidak harus mengejar kebahagiaanku lagi?


Hujan mulai mereda. Aku bisa mendengar rintik-rintik hujan mulai berhenti turun.


“Kalau boleh tanya, kamu ngapain kesini?” tanyaku. Kirana yang sudah selesai meminum coklat-nya lalu meletakkan gelas di meja yang ada di depan kami. Kirana membetulkan selimutnya yang sudah mulai turun dari bahunya, dan mulai menjawab, “….memandang hujan untuk yang terakhir kalinya.” Gumamnya pelan yang tak sempat kudengar.


“Maaf, gimana tadi?” tanyaku ingin tahu.


“Nggak, nggak apa-apa. Kamu lapar? Kita bisa makan di kantin yang ada di ujung lorong sebelah sana.” Ajak Kirana mangalihkan pembicaraan.


Aku mengangguk mengiyakan, “Ya, tentu saja.”


Mungkin ini terdengar aneh, aku sendiri juga merasa aneh pada pemikiranku. Tapi, setelah bercerita pada seseorang, ternyata tidak buruk juga. Menurutku malah seperti membuang beban yang sangat berat di hati.


Kami kembali menelusuri lorong dan melewati perawat yang mengajakku berbicara tadi. Tanpa kusadari, perawat tadi melihatku dan diam-diam tersenyum. Kirana sempat menceritakan kejadian lucu yang pernah ia alami. Baru aku tahu, bahwa orang tua Kirana sudah meninggal dan sekarang ia tinggal bersama tante-nya. Setelah Kirana menceritakan hal itu, baru aku sadar bahwa tubuh Kirana benar-benar pucat dibawah lampu yang sedang menyala.


Kami memesan 2 burger jumbo, satu minuman soda untukku dan teh botol untuk Kirana kepada mas-mas yang sedang berjaga di kantin. Setelah mengambil pesanan kami, Kirana mengajak untuk pergi ke beranda yang terdapat di lantai itu, “Hujan sudah lumayan reda, jadi kenapa tidak?”


Aku hanya tersenyum dan mengikutinya.




Sesudah menggulung lengan baju rumah sakit, aku meletakkan kedua tanganku di atas besi pembatas beranda. Kirana berdiri sambil menyilangkan tangannya di dada.


Kami saling bertukar cerita di beranda itu untuk menunggu berhentinya rintik hujan yang masih sedikit-sedikit berjatuhan. Aku sempat terpeleset di salah satu genangan air dan Kirana tertawa terbahak-bahak. Sebaliknya, cerita aneh Kirana yang sangat lucu  membuatku tertawa kecil.


Untuk sesaat, kami berhenti berbicara dan hanyut dalam kesunyian malam.


Hujan akhirnya sudah benar-benar reda.


Dan kami diam seribu bahasa.


Kirana menghembuskan nafas panjang. “Langit, ini sudah larut sekali. Aku harus kembali ke kamar.” Katanya pelan. Aku menoleh, “Oh, ya, tentu saja.” Anggukku.


Tapi Kirana masih terdiam di hadapanku dan menatapku.


Aku memasang wajah tanda tanya kepadanya.


Kirana mengedipkan matanya, “Ini untuk yang terakhir, Langit..”


“Percayalah pada dirimu sendiri.” Tuturnya lembut.


Mendengar perkataan Kirana, aku hanya dapat mengunci mulutku dan melihat punggung Kirana mulai menjauh dariku. Aku merasa bahwa apa yang baru saja dikatakan Kirana adalah kalimat yang selama ini ingin aku dengar. Sebuah kalimat sederhana, namun cukup sebagai penyemangat hidup.


Aku terdiam.


Melihat ke langit, yang berbagi nama yang sama, aku tersenyum dan menitikkan air mata.




Esoknya, aku terbangun dan melihat awan pagi sedang memeluk matahari.


Pagi, siang, sore dan malam telah kulalui, hari-hari dimana aku bisa tersenyum sambil bercerita kepada alam juga telah kulalui, tapi tak kunjung bertemu dengan Kirana, perempuan yang telah memberiku semangat untuk hidup.


Kebingungan, akhirnya aku bertanya kepada perawat yang sedang berjaga pada hari itu.


“Permisi, mbak. Di lantai ini apa ada pasien yang bernama Kirana? Kalau iya, boleh tau dimana ya, kamarnya?” tanyaku tidak sabar. “Sebentar ya dek, saya carikan.” Kata perawat. Aku menoleh kesana-sini dengan gugup untuk menunggu jawaban dari perawat.


“Oh.. ada sih, pasien bernama Kirana, tapi..” sahut perawat itu.


Aku membuka mataku lebar, “…Tapi kenapa, mbak?”


“Maaf dek… sepertinya dia sudah meninggal.”


Tampak seperti tidak ingin mendengar kalimat itu, aku bertanya sekali lagi, “Maaf mbak, gimana?”


“Kirana.. sudah meninggal, dek.” Kata perawat memperjelas perkataannya.


Untuk sesaat, pikiranku kembali menjadi kosong dan hatiku terasa seperti tertusuk. Badanku lemas dan aku tidak tahu bagaimana untuk merespon hal seperti ini. Telingaku berdengung dan detak jantungku meningkat. Aku merasakan tubuhku seperti terbakar dan… tersesat.


Aku menggenggam kedua tanganku erat, “Oke, makasih mbak.” Ujarku berusaha memaksakan sebuah senyuman.


Aku berjalan linglung kearah kursi dimana aku pertama kali bertemu dengan Kirana.


“Kirana sudah mengidap penyakit tumor otak yang sangat kritis.. Saya ingat, kata dokter, ia hanya memiliki beberapa hari untuk hidup..”


Penjelasan perawat tadi masih terngiang di kepalaku.

Aku terduduk dan melihat ke jendela dimana kami menunggu reda-nya hujan dengan mendengarkan rintik-rintik hujan yang sedikit bergema di dalam lorong. Aku tenggelam dalam pikiranku lagi, tapi saat aku melihat matahari mulai membebaskan dirinya dari awan, aku mulai berpikir. Tidak, tidak kali ini. Situasi sudah berbeda. Dia memberikanku harapan yang selama ini aku cari.


Tapi.. jika dia akan meninggalkan dunia ini begitu saja, lalu mengapa Tuhan mempertemukanku dengannya?


“Tuhan masih memiliki rencana lain untukmu.”


What kind of plan?


Is it for me to lose my hope once again?


“Bersabarlah dengan melihat keindahan di dalam setiap cerita sedihmu. Bukan untuk orang lain, tapi untuk kebahagiaanmu sendiri, Langit.”


Nasihat-nasihat yang pernah ia berikan pada malam itu membuat pikiranku merenung. Disaat yang bersamaan, aku ingin menangis dalam diam. Tapi aku tidak bisa melakukannya karena pikiranku sibuk dibayangi oleh sosoknya yang meninggalkanku terlebih dahulu di beranda itu dengan menampakkan punggungnya ketika pergi.


Aku tersenyum perih dan lalu mengajak angin berbicara.


“Mungkin, memang Tuhan sudah merencanakan segalanya. He works in mysterious ways, I guess.”


Aku memejamkan mataku. Menerima hangatnya sinar matahari pagi, aku pun tertawa dan mulai menangis.


Find happiness in misery.




Aku meletakkan serangkai bunga di batu nisan yang bertuliskan namamu yang sangat berjasa di dalam hidupku. Melihat birunya langit, mendengar kicauan burung yang sedang mencari makan, serta terduduk di rerumputan hijau, aku sempat tersenyum kecil dan bercerita kepadamu.



Setelah beberapa saat, aku mulai beranjak pergi untuk pulang ke rumah.



Orang tua-ku pada akhirnya memang bercerai, tetapi itu tidak lagi masalah untukku. Tidak pada saat aku dapat mencari kebahagiaan di dalam hikmah yang ada. Tidak saat aku pada akhirnya mendapatkan dorongan dari seseorang untuk hidup lagi.



Sekarang aku menyukai hujan. Dan rintik-rintik air terdengar seperti musik yang dapat menenangkan hatiku. Mengingat di masa lalu, dimana aku mengetahui bahwa kau telah tiada, aku ingat betul bahwa aku melihat pelangi muncul.



Jika kupikirkan sekali lagi, Kirana, dia adalah sosok teman bagai pelangi warna-warni yang indah namun muncul hanya untuk menyapa setelah hujan reda.



Sosok teman yang membuatku lebih dekat dengan Tuhan.



Jika aku tidak bertemu dengannya, mungkin aku tidak akan bisa melihat keindahan dunia yang telah di anugerahkan dariNya untukku, seseorang yang sudah pernah menyerah sekali dalam hidupnya.



Berjalan menelusuri jalanan trotoar dengan melewati mobil dan beberapa orang, aku merasakan sebuah rintik air hujan menjatuhi pipiku. Aku melihat ke atas, dimana awan berwarna abu-abu bergumpal dan siap menjatuhkan isinya.



Aku tersenyum.



Hujan telah datang.

Komentar

Postingan Populer